Thursday, 20 May 2010

Tentang Keharaman Mengemis

Posted on 18:54 by Tunjung Tri Utomo


Ini saya menanggapi Pak Suherman Chaniago,di sebuah thread di mailing list Forum Pembaca Kompas

Pertama-tama Pak Suherman yang budiman, mohon perhatikan bahwa saya menggunakan kata "mengemis" bukan kata "meminta",dalam artian mengemis yang saya sebutkan disini adalah mengemis seperti yang kita pahami dalam budaya dan masyarakat kita,atau setidaknya yang saya pahami,yaitu menjadikan kegiatan meminta-minta sebagai gantungan hidup sehari-hari. Dengan demikian,meminta bantuan pada orang lain dengan secara insidentil,dan tidak menjadikannya sebagai mata pencaharian atau gantungan hidup tidak termasuk dalam apa yg saya maksud.

Baiklah ini beberapa nash yang saya maksud :

"Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat oleh jihad di jalan Allah mereka tidak dapat berusaha di muka bumi. Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang-orang kaya karena menahan diri dari meminta-minta" [Al-Baqarah : 273]

dalam ayat ini dijelaskan,bahwa justru orang yang menahan diri dari meminta-mintalah yang kita dahulukan untuk kita bantu.

Hadits Ibnu Umar dari Rasulullah, beliau bersabda.

"Artinya : Senantiasa seseorang meminta-minta hingga ia datang pada hari kiamat tanpa membawa sekerat dagingpun di wajahnya" [Muttafaqun 'Alaihi]

Hadits Az-Zubeir bin Awwam dari Rasulullah beliau bersabda.

"Artinya : Sekiranya salah seorang dari kamu membawa tali lalu pergi ke bukit untuk mencari kayu, kemudian ia pikul ke pasar untuk menjualnya demi mejaga kehormatannya, niscaya yang demikian itu lebih baik dari pada meminta-minta kepada orang lain, baik diberi maupun di tolak" [Hadits Riwayat Musim]

Hadits Abu Hurairah dari Rasulullah beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang meminta-minta untuk memperbanyak hartanya, tiada lain ia hanyalah memperbanyak bara api kemudian terserah kepadanya akan memperbanyak bara api tersebut atau menguranginya" [Hadits Riwayat Muslim]

Hadits Habsyi bin Junadah dari Rasulullah beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang meminta-minta bukan karena kefakirannya, maka seakan-akan ia telah memakan bara api" [Hadits Riwayat Ahmad]

Dua hadits terakhir ini berhubungan dengan pengemis yang tidak benar-benar miskin seperti yang saya maksud dalam tulisan saya dan kemudian ditanggapai oleh email saudara Iwan.


Dari Qabishah bin Al Mukhariq Al Hilaly, Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, “Hai Qabishah, meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi tiga orang : Pertama, seorang yang memikul tanggungan hamalah [hutang yang ditanggung dalam usaha mendamaikan 2 pihak yang bertikai], maka ia boleh meminta bantuan hingga ia dapat menutupi hutangnya kemudian berhenti meminta. Kedua, seorang yang tertimpa musibah yang meludeskan seluruh hartanya, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa kemelaratan”, maka ia boleh meminta bantuan hingga ia memperoleh apa yang dapat memenuhi kebutuhannya. Selain dari 3 itu hai Qabishah, hanyal barang haram yang dimakan oleh si peminta-minta sebagai barang haram.” [HR Muslim 1044]

hadits terakhir ini terutama di poin ke-3

Ketiga, seseorang yang ditimpa kemelaratan, hingga 3 orang yang berakal dari kaumnya membuat persaksian : “Si Fulan telah ditimpa kemelaratan”

menjadi dasar perlunya memberikan sedekah secara terorganisir,bukan secara orang-perorangan dan secara langsung diberikan pada orang yang kita lihat di jalan-jalan.Bagaimana mungkin kita bisa mendapat persaksian dari 3 orang yang berakal (menguasai masalah,cerdik) terhadap ribuan orang miskin yang hidup di negara kita kalau tidak didahului dengan survei,pencatatan dan verifikasi,yang itu berarti perlu adanya suatu organisasi atau lembaga.

Mengapa perlu fatwa?sama seperti ketika beberapa waktu lalu MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa keharaman mencemari sunga Kali Brantas. Dalam kasus tersebut juga sebenarnya telah jelas dalil-dalil yang melarang kita untuk berbuat kerusakan dalam hal apapun.Tapi seiring dengan semakin berkembangnya variasi teknis dari masalah yang dihadapi,nash-nash yang berkaitan dengan dasar-dasar ide untuk tidak berbuat kerusakan seolah tenggelam,sehingga fatwa MUI tersebut,menurut saya,lebih bersifat sebagai memperjelas dan mengingatkan kembali masyarakat terutama para pemeluk Islam bahwa masalah yang dihadapi ada tuntunannya dalam agama.

Demikian pula dengan fatwa keharaman mengemis yang pertama kali dikeluarkan oleh MUI Sampang,Madura untuk menyikapi fenomena mengemis yang semakin mengejala menjadi profesi di daerah tersebut.MUI Madura merasa perlu menyikapinya dengan mengingatkan kembali ketentuan agama yang mengatur soal itu.

Saya kurang paham dengan mekanisme pembahasan masalah di MUI,tapi setahu saya Fatwa tidaklah harus berupa ijtihad atau sesuatu yang harus diolah terlebih dahulu,bisa juga hanya berupa seruan atau ta'mim yang didalamnya disebutkan dasar-dasar nash yang mengatur seruan tersebut.

Demikian.Wallohua'lam bis shawab

No Response to "Tentang Keharaman Mengemis"

Leave A Reply