Wednesday, 22 April 2009

Benarkah Golput Pemenang Pemilu?


Banyak yang beranggapan,baik secara guyon maupun yang serius dan ideologis,bahwa golongan putih alias golput,sebutan yang diberikan kepada mereka yang terdaftar sebagai pemilih namun tidak menggunakan hak pilihnya,yang memangkan Pemilu legislatif 2009.Para advokat sikap golput pun merasa menang dengan berbagai alasannya.

Tapi,secara statistik dan rasional,benarkah memang golput yang menang?

Sampai sekarang satu-satunya data yang sampai pada publik adalah yang menyebutkan bahwa jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya adalah berkisar di angka 30-40% berdasar data survei quick count yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei,dan itu hanyalah data yang didapat berdasar survei di TPS-TPS,belum ada data resmi dari tabulasi KPU.

Jadi secara statistik,belum bisa dibilang golput yang menang,semua baru perkiraan.

Pun,katakanlah jika memang angka golput nantinya benar-benar terpancang di,katakanlah 35% yang itu berarti jauh lebih besar dari data sementara perolehan suara terbesar Paratai Demokrat (20%),benarkah dapat dikatakan golput menang?Beberapa lembaga survei maupun lembaga penelitian dari kalangan kademik sejak jauh hari sebelum Pemilu legislatif dimulai telah mulai melakukan beberapa survei untuk menlisik fenomena potensi golput ini.Diantaranya yang dapat kita jadikan pembanding adalah hasil survei LSI terhadap golput dalam Pilkada Gubernur Jakarta menyatakan Pertama, alasan teknis, misalnya, orang itu sakit atau memiliki keperluan, sehingga tidak bisa datang ke bilik suara pada hari H (39%). Kedua, alasan administratif, yakni, orang tersebut tidak terdata (38%). Ketiga, alasan politis, sebut saja, tidak percaya pemilu, tidak ada calon favorit, sebagai bentuk protes atas ketidakberesan birokrasi, dsb. (16%).

Jadi didalam tubuh golput sendiri juga terdapat "partai-partai",dan mestinya beda-beda alasan seorang golput ini juga mesti kita masukkan dalam analisan,tentu tidak adil kalau 34 partai peserta pemilu cuma ditandingkan dengan "partai" golput yang cuma dianggap sebagai satu suara,karena baru adil bila suara golput ditandingkan dengan suara "tidak golput",dan jelaslah ternyata angka yang tidak golput mencapai 65% (dengan asumsi suara golput 35%).

Kalau seandainya,secara bergurau,"partai golput" mengadakan mukernas,belum tentu mereka mampu menyatukan suara.Karena,berdasar survei saya pribadi,alasan teman-teman yang memilih golput juga sangat beragam.Untuk mereka yang memilih golput karena alasan idealisme,teman saya yang aktivis sosialis dari salah satu organisasi serikat buruh berlambang bintang dan roda gerigi mengatakan pemilu sangat tidak kerakyatan,sedangkan teman saya aktivis salah satu organisasi keislaman menyatakan golput karena menyatakan "pemilu tidak sesuai dengan Islam",nah dari salah dua saja dari banyak "anggota" golput yang kebetulan saya tanyai saja sudah begitu beragam bahkan berseberangan dan bertentangan alasannya.

Lebih jauh,apabila golongan putih ini disurvei dan di list secara lengkap apa saja alasan mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu kali ini,prediksi saya berdasrkan data dari pemilu 1999 dan 2004 maka akan muncul belasan bahkan puluhan sub-golongan dalam golongan putih.

Jadi benarkah memang golput pemenang Pemilu?

Karena ternyata ada juga partai golput idealis,partai golput islami,partai golput sosialis,partai golput cuek,dan partai golput-partai golput lainnya.Suara partai-partai golput ini ternyata kalau tidak juga signifikan bila dibandingkan dengan perolehan partai-partai peserta pemilu.

Beda-beda alasan golput ini mestinya kita jadikan masukan sebagai analisa tentang realitas pandangan politik warga bangsa ini,bukannya memukul rata,meng-over-simplifikas
i-kannya,dan kemudian dengan serampangan membawanya sebagai satu komoditas politik untuk sekedar menjadi pembenar bagi penilaian sebagian pihak bahwa Pemilu telah gagal.

Teman-teman yang memilih,dan meng-advokasi-kan,golput mesti mawas diri dengan ini,karena kita akui atau tidak,angka-angka masih menunjukkan bahwa rakyat,setidaknya secara nominal,masih percaya pada sistem penyelenggaraan negara yang ada saat ini.

Pemerintah,KPU,partai-partai juga harus mawas diri dengan angka golput,yang meski masih belum signifikan bila dibanding dengan perolehan suara partai-partai,dari pemilu 1999-2009 ini terus menunjukkan pningkatan serius.

Mari sama-sama kita pikirkan.

Salam,smile always :)

Friday, 13 March 2009

Totalitas Total Football


Oke,seperti yang teman-teman tahu, saya jarang memposting tulisan orang lain dalam blog saya,tapi kali ini saya merasa perlu "mengabadikan" tulisan Liza Arifin ini karena menurut saya inilah salah satu dari sedikit tulisan yang bermutu tentang sepakbola.


Catatan Sepakbola

Totalitas Total Football
Liza Arifin - detiksport


London
- Total Football bagi saya adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.

Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.

Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda".

Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.

Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.

Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.

Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.

Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.

Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.

Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.

Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.

Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.

Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya?

Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda.

Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.

Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya.

Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi.

Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.

Lalu apa yang dilakukan?

Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka.

Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia.

Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.

Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu.

Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh.

Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.

Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.

Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu. Totalitas. Namanya: Total Football.



===
*
Penulis adalah wartawan detikcom, tinggal di London.

Friday, 6 March 2009

Semangat FOSS = Menjadi Pengemis??


Menanggapi tulisan Pak Bernaridho I. Hutabarat di rubrik viewpoint PC Media Edisi 03 tahun 2009.

Opini tetap opini,itu sah dan dijamin oleh UUD negara ini, dan saya sangat menghargai opini Pak Bernaridho. Tapi disisi lain,menjadi hak saya pula untuk mengemukakan opini saya terhadap segala sesuatu, termasuk opini saya terhadap opini yang lain.

Hal pertama yang terpikir oleh saya selesai membaca tulisan Bapak adalah : tidak korelatif.Ya,tulisan anda tidak mencantumkan penjelasan (setidaknya data singkat) yang dapat menghubungkan secara jelas antara semangat untuk berbagi dalam dunia IT yang diwakili oleh open source movement dengan kejatuhan ekonomi Amerika Serikat. Mari kita telisik di paragraf-paragraf berikutnya.

Publikasi-publikasi terkemuka dunia,juga para pelaku ekonomi dunia termasuk diantaranya salah dua orang terkaya di dunia, Warren Buffet, orang terkaya no.1 tahun 2008 versi Forbes (Kompas,23 September 2008) dan George Soros, sudah menyimpulkan dengan gamblang, bahwa akar jatuhnya ekonomi USA adalah krisis Subprime Mortgage. Krisis yang disebabkan oleh terlalu percaya dirinya kalangan perbankan disana akan kekuatan ekonomi dalam negeri sehingga secara serampangan memberikan kredit perumahan pada sembarangan orang, termasuk orang-orang yang sebenarnya tidak punya cukup penghasilan untuk melunasi angsurannya (Tempo,12 Oktober 2008).Kita tidak melihat peran FOSS movement dalam menyumbang andil pada krisis ini, termasuk apabila dikatakan bahwa FOSS menimbulkan semangat kepahlawanan berlebihan di kalangan industri US karena kita sama-sama tahu,salah satu pemerintah negara yang paling banyak menyerukan soal DRM,Copyright atau sejenisnya adalah pemerintah negara USA. Justru kehadiran FOSS mampu secara gradual menyurutkan penggunaan pirated software (software bajakan), yang itu artinya FOSS justru membantu pemerintah USA secara tidak langsung.

Dan ternyata, USA bukanlah tertinggibesar urutan FOSS dari segi jumlah pemakai, Indonesia malah mampu menyaingi (urutan 5 di dunia).Sehingga kurang korelatif untuk menyebut kerugian Ekonomi AS karena munculnya FOSS,mestinya -kalau memang FOSS movement lah penyebab anjloknya ekonomi USA- pengguna FOSS USA adalah terbesar di dunia. Perlu diingat juga, perkembangan dedengkot FOSS ,yaitu Linux,diprakarsai oleh orang Eropa (Linus Torvalds,Finlandia),bukan orang USA. Beberapa distro besar dunia juga diprakarsai dan dikembangkan di luar USA,Ubuntu (yg tercatat memilki pengguna terbanyak) yang diprakarsai oleh Mark Shuttleworth (orang Afrika Selatan) menjadi contoh paling sahih.Jadi dapat disimpulkan semangat dan gerakan open source bukanlah monopoli AS atau tidak dapat dikatakan demam open source (baca : semangat kepahlawanan) menjangkiti AS lebih dari negara lain.

Ternyata juga, apabila dikatakan perusahaan-perusahaan otomotif jepang tidak rugi sebagai pembanding industri otomotif US, tidak sepenuhnya benar. Toyota akhir Februari kemarin mengumumkan (untuk pertama kalinya dalam sejarahnya) kalau mereka mengalami kerugian penjualan pada tahun 2008, belum lagi Honda,Suzuki,Mitsubishi dan Subaru, yang terang-terangan menunjukkan pada dunia kalau mereka sedang dililit kesulitan dengan mengumumkan rencana mereka mundur dari keikutsertaan tim-tim pabrikan mereka di lomba-lomba otomotif paling top di dunia (Honda dari F1;Subaru dan Suzuki dari WRC;Mitsubishi dari reli Paris-Dakkar). Dan tentu anda tahu kalau Nissan Motor yang akhir-akhir ini performanya cukup mengkilat ternyata sahamnya sebagian dimiliki oleh Citroen dan dikomandoi oleh CEO dari luar Jepang bernama Carlos Ghosn, sehingga tdk lg dapat dikatakan murni perusahaan Jepang.Lagipula apa yang membuat perusahaan otomotif Jepang bisa mengalahkan kompetitornya dari AS? Apa karena banyaknya teknologi baru yang dikandung oleh mobil-mobilnya (Nissan X-Trail punya teknologi yang serba rahasia dan tidak dibagi-bagi,sehingga mampu mengalahkan penjualan Ford Escape?) ,teknologi yang dijaga begitu ketat kerahasiaannya sehingga tidak dibagi?Disisi lain teknologi otomotif apa yang dikontribusikan secara gratis oleh perusahaan-perusahaan otomotif AS sampai mampu mendorongnya ke jurang kehancuran?

Kesimpulannya,sebagaimana saya katakan dengan singkat sebelumnya,tidak cukup dalam (bahkan tidak cukup jelas) penjelasan terhadap korelasi-korelasi antara FOSS movement dengan krisis yang ditampilkan Pak Bernaridho dalam tulisan yang dimuat dalam PC Media edisi Februari 2009 tersebut.

FOSS, menurut saya, kalau dipandang lewat kacamata ekonomi gaya USA yg berpatokan pada teori Adam Smith dan David Ricardo bahkan bisa meningkatkan iklim bisnis karena lebih sesuai dengan teori trickle down effect dan diminishing return. Dengan membuat orang punya kesempatan untuk mengembangkan sendiri software (karena source-nya yang dapt dilihat oleh semua orang) sesuai kebutuhan,terbuka semakin banyak kesempatan bagi munculnya bisnis-bisnis baru dalam skala kecil dan menengah, trickle down effect. Juga mencegah jenuhnya satu ladang akibat satu petani yang sudah terlalu gemuk menguasai sebagian besar ladang, sesuai dengan law of diminishing return :).Richard Stallman sendiri juga tidak anti terhadap pendapatan melalui software kok, terbukti dari kalimat yang dikirimnya ke salah satu milis berikut :

I think it is ok for authors (please let's not call them "creators", they are not gods) to ask for money for copies of their works (please let's not devalue these works by calling them "content") in order to gain income (the term "compensation" falsely implies it is a matter of making up for some kind of damages)

Jadi, apa iya semangat berbagi (baca=FOSS movement) menjadi penyebab kejatuhan ekonomi Amerika Serikat?

Saturday, 3 January 2009

The Ambivalent West


It make no sense at all when it comes to democracy that The West, especially the US, advocate, regarding to the Palestinian issue. Isn't democracy is about the right to determine one's own choice of aspiracy that build a nation, and when it comes to one of main instrument of demoicracy, the election, it also means one's right to determine their own choice of political aspiration?

And in the Palestine case,it's the choice of Palestine people to choose the Hamas in a free, west sponsored election. Where's that respect for the choice, even if Hamas is said to be wanting Israel out of the world map, still it is a choice. The same West attitude ring true when we see how they fare with the result of election in Bolivia, Venezuela, Iran, Nicaragua.

But when it comes to Palestine,the West have even gone too far by letting one nation spilling other nation's people blood by the reason that should have been kept as Palestine's internal issue.How could someone be authorized to attack other country,let alone killing many innocent people,just because that someone disagree with one party's,which happens to rule through a fair procedure,political stance toward him??Not even the mighty People's Republic of China dare to attack Taiwan (or Chinese Taipeh as they been called in PRC) when full-independence-advocating-Chen Sui Bian raise as Taiwan's President,for, one of the reason,the US immediately throw it's warning against China's alleged agression.

So how come The West cockily, and bluntly hurt it's own so-called-pledge of democracy by issuing warnings such as suspension of humanitarian and financial aid for Palestine just because Hamas won the election.Not even the West put any consideration when Hamas clearly shows their will to be more pragmatics in issues regarding relation with Israel.What's the different of the situation with what happened when the Islamist AKP won secular Turkish election, what's the different with what happened when leftist Evo Morales won Bolivian election.

Where are West's respect of principles of democracy that they themselves declare and advocate??